Sabtu, 16 Februari 2013

Harapan Orang Tua di Masa Tua

Pertanyaan tersebut masih menjadi hipotesis saya. Enam setengah tahun lalu, ketika ibu saya terserang stroke, bapak saya mengatakan sesuatu yang membuat saya tercetus dengan pemikiran tersebut.

“Bapak bersyukur ada Iis yang mau tinggal di rumah sini. Kalau Iis enggak ada, bapak enggak tahu bagaimana mengurus ibu yang sakit. Harus wira-wiri ke sana-sini. Bapak sebetulnya enggak mau merepotkan Iis yang baru melahirkan. Tapi bapak juga gak tahu kalau sendirian mengurus ibu,” kata bapak saya saat itu.

Ya, saya ingat betul. N2 saat itu masih berusia sekitar 6 bulan. Masih ASI eksklusif. Saya menggendongnya ke mana-mana mengurus kepindahan ibu dari RS di Lumajang ke Surabaya. Mengurus surat-surat administrasi, mengurus ambulans, mengurus pembayaran, dan hampir semua urusan saat itu saya yang menangani.

Saat itu, ibu saya juga sedang terkena masalah hukum dari keluarga istri kedua kakek saya. Saya pula yang mengurus masalah tersebut ke kepolisian, pengacara di Surabaya, dan sebagainya. Masa-masa tersebut adalah masa-masa berat untuk keluarga saya.

Bapak saya tidak secara langsung mengatakan ‘terima kasih’ pada saya. Tapi saya tahu, kata-kata itulah yang menjadi inti dari pembicaraannya yang mensyukuri kehadiran saya yang pindah dari Surabaya ke Lumajang.

“Bapak enggak membayangkan kalau anaknya bapak keluar rumah semua, siapa yang menemani bapak ibu di Lumajang…” katanya di waktu yang lain.

Kemarin, hal yang sama tercetus lagi dari seorang sahabat saya di Jakarta. Panggil saja namanya, Pak Eres. Pak Eres seusia dengan ibu saya. Memiliki 3 anak. Yang sulung tinggal di Kuala Lumpur ketika S1 dan pindah ke Australia sejak kuliah S2. Ia kemudian bekerja di sana, menikah dengan orang Australia, dan kini memiliki 1 putra. Panggil saja anak perempuan sulung Pak Eres ini dengan Ima.

Anak kedua Pak Eres juga perempuan, Panggil saja namanya Lasmi. Lasmi dulu kuliah di Jakarta untuk program internasional sehingga 2 tahun kuliah di Jakarta dan 2 tahun kuliah di Australia. Kini Lasmi tinggal di Jakarta dan bekerja di perusahaan produsen susu bayi internasional.

Anak ketiga Pak Eres, panggil saja Bintang, adalah seorang autis yang duduk di kelas XII alias 3 SMU.
Pak Eres beberapa kali bercerita tentang ketidaksetujuannya dengan pacar Lasmi. Ada beberapa hal yang Pak Eres sempat jelaskan mengapa ia dan istri tidak setuju dengan pilihan Lasmi yang kebetulan orang Yogyakarta.

“Pak Eres, biarkan Lasmi memilih siapa yang ia sukai. Setidaknya jika ia ternyata salah memutuskan, Lasmi tidak akan menyalahkan Pak Eres dan Bu Eres,” kata saya.

“Saat ini kami hanya bisa menunjukkan ketidaksukaan kami atas pilihan Lasmi. Saya belum tahu bagaimana ke depan. Lasmi juga tidak pernah membicarakannya kepada kami….” sahut Pak Eres.

Semula saya mengira Pak Eres tidak setuju hanya karena pria yang dicintai Lasmi itu memiliki perilaku yang membuat Pak Eres danistri kurang berkenan. Tapi, kemarin, saya mulai melihat sisi lain yang menjadi alasan Pak Eres tidak setuju dengan pilihan Lasmi.

“Kami sudah tua, Is. Saya juga tidak tahu sampai berapa lama bisa menemani Bintang. Bintang tidak bisa dilepas. Lihat dia, dia tidak punya teman. Dia tidak punya sahabat. Dia kesulitan berinteraksi dengan orang lain. Jika ia marah, saya dan istri sudah tidak mampu mengatasinya. Ia bisa menghancurkan apa saja yang ada di rumah. Ia bisa memukul ibunya atau pembantu di rumah. Saya juga sudah tidak terlalu kuat secara fisik untuk mengikuti kekuatan tubuhnya. Bintang semakin besar, Is…..” cerita Pak Eres dengan nada datar.

“Karena menyadari itu, makanya saya dan istri berharap Lasmi lah yang nanti mendampingi Bintang di rumah ini. Tidak mungkin kami mengharapkan Ima. Ima lebih mengenal Australia daripada Jakarta.
Kehidupannya memang ada di Australia. Ia tidak punya teman di Jakarta. Seharusnya Lasmi menyadari itu. Dia tahu kondisi keluarganya dan harapan ini sudah pernah kami sampaikan. Lasmi bercerita bahwa pacarnya sudah memiliki rumah di Yogyakarta dan kalau mereka menikah, maka Lasmi akan diboyong ke Yogyakarta. Yang diceritakannya itu sangat menyakitkan hati kami. Tapi kami bisa apa. Rasanya dia lebih menganggap penting pacarnya daripada orangtuanya….”
tambah Pak Eres.

Ah….. Apa yang disampaikan Pak Eres ternyata senada dengan yang disampaikan bapak saya beberapa tahun lalu. Ternyata orang tua selalu menyimpan harapan agar anaknya mendampingi masa tua mereka. Dan orang tua biasanya menyimpankan harapan tersebut pada salah satu anaknya. Benarkah demikian?

Saya tidak tahu. Tapi sedikit banyak, saya mulai memahami mengapa orang tua berpikir demikian. Saya yakin, yang menjadi pikiran Pak Eres bukan sekedar persoalan Bintang yang autis semata. Tapi juga kekhawatiran atas perasaan kesepian di masa tua yang membuat ia berpikir demikian.

Seperti ibu saya. Jika liburan panjang atau ada beberapa hari libur, saya biasanya memboyong anak-anak untuk ke Jember menemani Abinya yang tinggal bersama kedua orangtuanya. Dari bapak, saya mengetahui bahwa setiap kali saya dan anak-anak bepergian lama, ibu saya sudah tidak berselera makan dan melakukan aktifitas seperti biasa. Meski ibu saya sering ‘berantem’ dengan anak-anak saya, tapi ibu saya selalu menginginkan cucu-cucunya ada di Lumajang. Jika mengikuti keinginan hati, kata bapak, ibu inginnya setiap hari telpon ke Jember untuk bisa bicara dengan anak-anak saya. Tapi ibu sungkan dengan besannya karena baru sebentar ditinggal kok sudah ingin minta saya dan anak-anak pulang ke Lumajang.

Tinggal di Lumajang tidak pernah menjadi rencana saya. Tapi terkadang, kita tidak bisa memilih pilihan yang kita ingin pilih. Dan selama ini saya selalu meyakinkan diri bahwa menemani orangtua adalah bentuk lain dari ibadah saya kepadaNya.

Untuk Pak Eres, saya pun bisa memahami kekecewaannya ketika Lasmi menyampaikan rencananya untuk tinggal di Yogyakarta. Saya tahu, banyak harapan yang tersemai di hati Pak Eres dan istri terhadap Lasmi. Tapi Pak Eres tidak mungkin memaksa.

“Saya berharap Lasmi bisa seperti Iis yang mau menemani orangtuanya…” kata Pak Eres.

Ya, Pak Eres mungkin mengharapkan Lasmi dan calon suaminya dapat memahami situasi Pak Eres dan Bintang. Pak Eres mungkin berharap calon suami Lasmi dapat berbesar hati seperti suami saya yang rela ‘terpisah’ karena saya tinggal bersama orangtua saya. Pak Eres mungkin juga berharap Lasmi dapat seperti saya yang berkenan mobilitas antar kota untuk memenuhi semua tanggungjawab yang saya emban.
Ah, saya teringat pada Mbak Indri, salah satu pengurus FORMULA saya, yang pernah berkunjung ke rumah dan mengetahu bahwa saya tinggal bersama orangtua saya.

“Saya lihat Mbak Iis jadi ingin menangis. Saya ingin sekali bisa berkesempatan untuk menemani orangtua saya. Kini ibu saya sendirian di Malang. Saya sudah mengajak untuk tinggal bersama saya. Tapi ibu tidak mau. Ibu ingin di rumahnya di Malang yang dulu ditinggalinya bersama bapak. Saya sering menangis karena ibu sendirian di rumah. Saya tidak membayangkan bagaimana rasanya sendirian di masa tua tanpa ada anak-anak satupun yang bisa menemani. Tinggal dengan anak-anaknya sendiri tentu berbeda dengan tinggal bersama keponakan atau saudara yang lain….”

Aduuuuh, jadi pengen nangis nih. Saya ingat murobbi saya pernah mengatakan, “Merawat orangtua kita adalah ladang ibadah, Is. Kadang kita seolah melihat ada surga di tempat lain. Padahal, seringkali kita tidak perlu mencari surga jauh-jauh kerena berkesempatan merawat orangtua kita sesungguhnya juga adalah surga yang dihadirkan Allah di depan kita.”

Hmffffhhhh…

Ya, bersyukurlah saya Lumajang dan Jember tidak terlalu jauh. Hanya 1,5 jam perjalanan sehingga bisa sering wira-wiri 2 kota ini. Saya tetap bisa menemani orangtua saya dan suami saya bisa menemani orangtuanya. Tidak semua dapat memiliki kesempatan itu. Dan lagi-lagi, terkadang kita harus memilih pilihan yang tidak kita sukai.

Tapi…

Satu hal yang saya rasakan bahwa orangtua kita sedikit banyak memiliki perasaan sakit jika sang anak lebih memilih mengikuti suami atau istrinya, apalagi jika sampai lebih memilih menemani mertua daripada orangtuanya sendiri. Mungkin tak semua orangtua akan berperasaan demikian. Tapi bagi orangtua yang menyimpan harapan besar untuk ditemani oleh salah satu anak yang diinginkannya, maka sakit itu adalah keniscayaan. Tapi, orangtua tak mungkin mengatakannya. Hanya bahasa hati yang dapat memahaminya. Bahasa hati yang berbuah tangis dalam senyap dan hanya bisa belajar mengikhlaskan pilihan sang anak untuk melalukan apa yang diinginkannya. Bahasa hati yang berbuah sakit yang belajar dipupus dan hanya bisa belajar mengikhlaskan pilihan sang anak untuk memilih tinggal bersama suaminya dan atau merawat orangtua suaminya daripada orangtuanya sendiri.

Pak Eres, semoga Allah memberikan jalan keluar. Semoga Pak Eres dan Bu Eres diberi usia panjang yang barokah untuk menemani Bintang. Semoga Allah menjawab doa dan harapan Pak Eres… Aamiin.

( Dikutip dari http://forum.kompas.com/keluarga/217403-%5Bkisah%5D-harapan-orang-tua-di-masa-tua.html )

Jadi inget kata-kata mama " kalau ayuk dah nikah tinggal di Bangka aza, biar deket sama mama." . Saya pun tak tahu, jodoh ada di tangan Allah, tapi kuat dalam hati saya. ingin dekat dengan mereka walau rumah kami tak berdekatan tapi setidaknya akan berbeda intensitas pertemuan bila saya ada di pulau seberang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar