Senin, 18 Maret 2013

Tak Berjudul !

Ku bisikan pada jiwaku, bisa kah kau kehilangannya?

Tiba-tiba, air mataku siap mengalir tapi terbendung oleh logika diri tentang hadirnya, atas apa ia tercipta dan siapa pemiliknya.
Berhamburan aku dalam bayang, akan mereka yang kucintai, yang hidupnya bermula atas tersambung pada aliran darahku. 9 bulan 10 hari membersamai tubuhku dalam dekapan yang maha kokoh bersemayam dalam 1 sifat Allah yang tersimpan dalam tubuhku, Rahim.

Aku hanyut dalam kebersamaan yang sebenarnya belum kurasa, aku hanyut pada perjuanganku nanti saat mungkin syahid akan menjadi jalan takdirku, aku hanyut saat mendengar tangis pertamanya, saat air mataku tumpah melihat wajah, kelengkapan fisiknya kukecup lembut keningnya dan ku katakan “Alhamdulilah, terima kasih Maha Cinta atas kehadirannya ke dunia”. saat  ku beri haknya, nutrisi paling sempurna untuk pertumbuhannya, saat ku bisa membersamai perkembangnya. Melihat senyum pertamanya, mengamati gerak tubuhnya, kata pertama keluar dari mulutnya, pertama ia berguling, tengkurap, duduk, berjalan terbata-bata, bahkan saat ia berlari. Mengikuti apa yang ia lihat, melihat kecerdasaannya, dan bagaimana ia mengenal Tuhannya. Aku terleburkan dalam dimensi sebagai madrasah pertamanya.
Cinta, kau bagai segalanya untuk bunda. Tapi ku tak tau sampai kapan kebersamaan itu terus terukir karena pasti ada tali pemutus yang akan pisahkan kami dari dunia yang fana. Takut kehilangannya itu pasti apalagi ia yang dicintai, yang dinanti-nanti.

Mengapa aku berfikir seperti itu? Atas kehilangan yang dirasakan seorang ukhti. Saudariku itu kehilangan seorang putri. Belum genap usia sekecil 1 tahun, ternyata Allah milik rencana atas dirinya. Aku tau…itu pasti sakit, sangat sakit.. Usia yang sedang lucu-lucunya, saat melihat perkembangnya ditahun pertama sebagai manusia. celotehan lucu, gerak-gerakan unik, saat memperkenalkan dunia padanya, saat menuntunnya untuk berjalan.

Tak ada yang abadi semuanya fana kecuali Allah. Semua itu bukan milikku tapi milik Allah, semua hanya berbentuk titipan dan aku akan dimintai pertanggung jawaban atas titipan itu. termasuk anak-anakku nanti…

Betapa ku terbawa pada kondisi saudari-saudariku di Palestina. Tentang mereka yang  mempersiapkan anak-anak mereka pada keabadian menuju kesyahidan. Ku rasa hati mereka luka bernanah, melihat kondisi anaknya tak lagi bernyawa. Tapi janji Allah sebagai penyembuh luka, pengobat nestapa dan yakin Surga Allah sebagai jaminannya.

Bagaimana anak-anakku nanti dan bisakah aku bernazar seperti istri Imron lakukan atas anak dalam kandungannya yang terlahir bernama Mariyam. Ia berkata… “ Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepadaMu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepadaMu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, engkaulah yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS Ali Imran:35).  Mendidiknya menjadi insan-insan peradaban, aku yang seperti ini. Allah berikan petunjukmu…

Ku tutup mataku… hitam gelap dan ku coba rasakan harmoni detak jantungku, aku bernyawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar