Selasa, 26 Februari 2013

Bunda Fana dan Keabadian

Sejak usia lima bulan, ocehan nadya makin banyak. Kebanyakan berbunyi "Na na na." Entah bagaimana mulanya, saya mulai membiasakan menyebut diri saya sebagai "Bunda Na" di hadapan Nadya. "Wah, apa maksudnya tuh, Bunda?" Tanya Faiz mengerinyitkan kening. "Bunda nggak sedang mencadelkan diri kan? Bundanya menjadi Bundana?" Tanya Faiz

Saya tersenyum, "Maksudnya, Bunda sebagai Bunda Na di depan Nadya," kata saya, mengedipkan mata. Sungguh, saya ingin tahu reaksi Faiz.
 

Betul saja!

"Nggak bisa begitu dong, Bunda," katanya serius,

"Lho Kenapa?"

"Anak Bunda kan ggak cuma Nadya..." rajuknya. "Aku sayang sekali sama Nadya. Tapi jangan begitu dong, Bunda....." ia menggamit lengan saya.

"Bunda Na kan bisa berarti singkatan "Bundanya anak-anak"? Goda saya

Faiz cemberut, "Lho, semua perempuan dipanggil Bunda kan memang karena ada anak-anaknya..."

"Terus Faiz maunya apa dong, sayang?"

Dia terdiam sesaat. Lalu mulutnya tersenyum dengan sangat lebar. "Aku Tahu!" serunya!" kalau berinteraksi dengan aku, Bunda akan menyebut diri Bunda sebagai Bunda Fa kalau sedang dengan Nadya ya Bunda Na!"

Kalau lagi sama Faiz dan Nadya?" Tanya saya

"Bunda Fana!" timpal Faiz

Saya tertawa. Faiz juga.

Tapi entah mengapa Faiz lantas terdiam. Betul-betul terdiam, hingga sepi melingkupi kami... "Lho, Kenapa?" Tanya saya. Ia mencium pipi saya. Matanya berkaca-kaca. "Fana, ketidakabadian"

Saya mengernyitkan dahi lagi. "Bunda fana, kita fana, Nak...."

"Dan ketika kita berangkat dari kefanaan menuju keabadian, aku ingin aku dan Nadya menjadi bukti abadi amal ayah dan bunda, tapi apa aku bisa?" suara Faiz parau. 

Saya tersekat

"Doakan aku dan Nadya ya, Bunda. Biar jadi mata air dalam keabadian ayah bunda kelak."

Saya makin tersekat. Sebentar lagi airmata saya akan tumpah. Saya tahan "Faiz dan Nadya insya Allah bisa. Berangkatlah dari satu titik yang sama, menuju titik yang sama: cinta hakiki ilahi Robbi, ya, Sayang...."
Ia manggut-manggut. Saya tahu kadang saya bicara padanya seolah ia pujangga. Tapi apa salahnya. Sering ia yang memulainya... seperti juga saat ini...

"Ya sudah, tidak usah dipikirkan ya Bunda. Bunda F atau Bunda Na? Lebih baik menjadi Bunda Helvy... Bunda semua orang.." Faiz tersenyum. Ia telah menguasai dirinya," Bunda, aku main sepeda dulu yaaa....

Di luar suara Nadya semakin kencang saja. Nanananaaa... ayah yayayaya.. auuuuuu,...haaaaa.. dadada... lalu suara faiz tertawa, bercanda bersama Nadya.

Di kamar, airmata saya mengalir, jatuh membasahi bantal... tempat saya bermimpi tentang mereka -para ananda tercinta- setiap malam....

Helvy Tiana Rosa dalam Catatan Pernikahan

Membaca tulisan ini ada bulir air mata yang jatuh deras pada pipi saya, Fana adalah hal mutlak, termasuk saya dan orang-orang yang saya kasihi. Mama adalah orang yang paling penting dalam hidup saya, tak ada satu momentpun yang tak berharga bahkan perdebatan kecil kamipun saya anggap suatu hikmah. Bisakah saya menjadi keabadian untuk mama ayah? Allah membimbing hamba dan kedua adik hamba agar menjadi investasi dunia akherat untuk mama dan ayah.

Bisakah saya menjadi bunda terbaik untuk anak-anak saya? memberi hikmah dan pelajaran agar ia mengenal penciptaNya dan iman itu tertancap dan mengakar kuat dalam dadanya...

Membaca ulang buku ini, yang telah cukup lama tidak saya sentuh hanya tersimpan cantik ditumpukan buku sana. Buku ini ringan tapi menimbulkan kesan yang cukup mendalam. Membentuk keluarga penuh cinta, kasih, memberi manfaat, karena Allah, mengharmonikan perbedaan, serta haus ilmu... banyak keluarga yang miliki hikmah terutama keluarga manusia paling sempurna Muhammad saw...harus banyak belajar...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar