Tiba-tiba, air mataku siap mengalir tapi terbendung oleh
logika diri tentang hadirnya, atas apa ia tercipta dan siapa pemiliknya.
Berhamburan aku dalam bayang, akan mereka yang kucintai,
yang hidupnya bermula atas tersambung pada aliran darahku. 9 bulan 10 hari
membersamai tubuhku dalam dekapan yang maha kokoh bersemayam dalam 1 sifat
Allah yang tersimpan dalam tubuhku, Rahim.
Aku hanyut dalam kebersamaan yang sebenarnya belum kurasa,
aku hanyut pada perjuanganku nanti saat mungkin syahid akan menjadi jalan
takdirku, aku hanyut saat mendengar tangis pertamanya, saat air mataku tumpah
melihat wajah, kelengkapan fisiknya kukecup lembut keningnya dan ku katakan “Alhamdulilah, terima kasih Maha Cinta atas
kehadirannya ke dunia”. saat ku beri
haknya, nutrisi paling sempurna untuk pertumbuhannya, saat ku bisa membersamai
perkembangnya. Melihat senyum pertamanya, mengamati gerak tubuhnya, kata
pertama keluar dari mulutnya, pertama ia berguling, tengkurap, duduk, berjalan
terbata-bata, bahkan saat ia berlari. Mengikuti apa yang ia lihat, melihat
kecerdasaannya, dan bagaimana ia mengenal Tuhannya. Aku terleburkan dalam
dimensi sebagai madrasah pertamanya.
Cinta, kau bagai segalanya untuk bunda. Tapi ku tak tau
sampai kapan kebersamaan itu terus terukir karena pasti ada tali pemutus yang
akan pisahkan kami dari dunia yang fana. Takut kehilangannya itu pasti apalagi
ia yang dicintai, yang dinanti-nanti.
Mengapa aku berfikir seperti itu? Atas kehilangan yang
dirasakan seorang ukhti. Saudariku itu kehilangan seorang putri. Belum genap
usia sekecil 1 tahun, ternyata Allah milik rencana atas dirinya. Aku tau…itu
pasti sakit, sangat sakit.. Usia yang sedang lucu-lucunya, saat melihat
perkembangnya ditahun pertama sebagai manusia. celotehan lucu, gerak-gerakan
unik, saat memperkenalkan dunia padanya, saat menuntunnya untuk berjalan.
Tak ada yang abadi semuanya fana kecuali Allah. Semua itu
bukan milikku tapi milik Allah, semua hanya berbentuk titipan dan aku akan
dimintai pertanggung jawaban atas titipan itu. termasuk anak-anakku nanti…
Betapa ku terbawa pada kondisi saudari-saudariku di Palestina.
Tentang mereka yang mempersiapkan
anak-anak mereka pada keabadian menuju kesyahidan. Ku rasa hati mereka luka
bernanah, melihat kondisi anaknya tak lagi bernyawa. Tapi janji Allah sebagai
penyembuh luka, pengobat nestapa dan yakin Surga Allah sebagai jaminannya.
Bagaimana anak-anakku nanti dan bisakah aku bernazar seperti
istri Imron lakukan atas anak dalam kandungannya yang terlahir bernama Mariyam.
Ia berkata… “ Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku bernazar kepadaMu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba
yang mengabdi (kepadaMu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, engkaulah
yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS Ali Imran:35). Mendidiknya menjadi insan-insan peradaban,
aku yang seperti ini. Allah berikan petunjukmu…
Ku tutup mataku… hitam gelap dan ku coba rasakan harmoni detak jantungku, aku bernyawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar