“Gue, Iri.” tutur Sam melalui bibirnya yang mulai biru kedinginan.
Di tepi luasnya padang rumput nan hijau, dua sahabat karib itu tengah
menahan gigil dalam derasnya hujan, dua sahabat yang merasa terbuang
dari kehidupan, dari penghargaan dan perhatian, Sam dan Re.
“Iri sama siapa?” tanya Re malas.
“Iri sama hujan.” suara Sam tertahan, “Iri karena hujan tetap
bersedia menyuburkan, meski kehadirannya kadang dicaci, dicela, oleh
manusia yang merasa harinya terusik oleh jalanan yang becek. Tapi esok
atau entah kapan, hujan akan turun lagi membasuh bumi, membasuh tanah
yang kekeringan. Turun lagi dan turun lagi.”
Re tersenyum getir. ”Kalau begitu, gue iri sama rerumputan.”
“Kenapa begitu?”
“Lihat, mereka, walau jelas diinjak-injak, namun tetap tegar
menghijaukan. Kaki-kaki itu seakan tak ada yang peduli pada rerumputan,
yang mencegah mereka dari tanah yang keras, bahkan batu berkerikil.”
Kedua sahabat itu terpekur, dibawa berlari oleh pikiran mereka
masing-masing. Oleh apa yang mereka lihat dan saksikan dibawah butiran
rintik-rintik hujan. Sam dan Re tak sadar, sama sekali tak mengira bahwa
pada saat yang sama ada yang tengah membicarakan mereka, ialah hujan
dan rerumputan.
“Hahaha.” hujan terbahak. “ada yang tengah membicarakan kita!” serunya pada rerumputan.
“Sii..sii…a..pa…kaah?” rerumputan terbata, susah payah bangkit dari rebahnya, selepas dilalui belasan ekor Gajah.
“Manusia.” jawab hujan, “Sepasang manusia yang tengah membicarakan
kita. Tak sadarkah mereka, kita diciptakan salah satunya untuk apa hah?”
Masih setengah bangkit, tersengal rumput menjawab, “hhh..hhh… untuk jadi pelajaran buat mereka kan?”
“Betul! Menjadi pelajaran bagi manusia, tentang kesiapan
memaksimalkan peran. Bermanfaat bagi yang lain sebagaimana Tuhan telah
ciptakan.”
“Adakah manusia-manusia itu mengingkarinya?”
“Entahlah.” hujan menderaskan rintiknya, “Yang ku dengar, mereka iri
pada kita. Iri pada kesabaran kita dalam melakoni peran ini. Menyuburkan
meski dicaci, menghijaukan walau diinjak-injak.”
Rerumputan tersenyum kecut, “Tak mengertikah mereka, bahwa hidup
kadang perlu berkorban, harus merasakan sakit. Sewaktu-waktu tak
dipedulikan, sewaktu-waktu tak dihargai.”
Angin perlahan datang, menuntun hujan untuk beranjak ke tempat yang lain.
“Hey angin,” rerumputan menyapa, “tampakkanlah sesekali rupamu,
jangan hanya sekedar mampir antarkan hujan atau bertiup lembut
menyejukkan.”
“Hahaha.” giliran angin yang tertawa, “seperti kata kalian tadi, maka
sebagai Angin, inilah peranku, antarkan kasih sayang dari Tuhan, atau
sekedar hadir menyejukkan.”
“Walau tanpa perlu diketahui bagaimana rupa dan sosokmu?”
“Benar sekali.” jawab angin sambil berlalu.
Sayang, percapakan itu tak pernah sampai ditelinga Sam dan Re. Mereka
pun hanya sekedar iri pada hujan dan rerumputan. Sekedar cemburu. Hati
mereka telah kebas, terlanjur kecewa oleh takdir yang tak menjadikan
mereka siapa-siapa. Semata-mata hanya seorang Sam dan Re, yang karyanya
tak dipedulikan, yang pemberiannya tak dihargai.
Padahal, langit menyimpan kejutan manis untuk kedua sahabat itu,
setelah sedikit lagi kesabaran, yang sayangnya keburu mereka tinggalkan.
Achmad Lutfi
Wolfsburg, 14.10.2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar