Mendengarkan, mungkin memang tidak mudah. Karena manusia
seringkali dihinggapi penyakit tinggi hati, merasa lebih berilmu, lebih
berpengalaman lebih terhormat, lebih hebat dan sebagainya. Seringkali dengan ilmu
pengetahuan yang tak seberapa, kita lantas merasa lebih pandai dari orang yang
sedang berbicara, lalu enggan untuk mendengarkan pembicaraannya. Terkadang
dengan kedudukan dan jabatan yang kita sandang kita pun merasa lebih tahu
tentang segala persoalan, sehingg tidak butuh masukan dan pendapat orang lain.
Atau kadang pula karena usia yang lebih tua, kita merasa lebih pantas untuk
didengarkan orang yang lebih muda.
Seorang pemimpin tidak pantas jika hanya terus menerus
berbicara dan memerintah, tetapi ia perlu untuk mendengarkan keinginan
orang-orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, orang-orang yang dipimpin juga tidak
boleh hanya terus menerus memprotes dan mengkritik, tetapi ia juga harus
menjalankan perintah dan kebijakan yang ditujukan kepada mereka, selagi
perintah itu tidak bertentangan dengan ketentuan Allah dan RasulNya.
Orang yang banyak berbicara banyak pula kesalahannya. Begitu
kata ahli hikmah. Semakin sering kita berbicara makin sering banyak kesalahan
yang terucap. Orang yang memelihara diri dari banyak berbicara dengan memilih
diam dan hanya mendengarkan maka akan terselamatkan dari banyak celaan dan
kesalahan. Pribadinya akan selamat dari fitnah, menyinggung perasaan orang, dan
terhindar dari
perdebatan yang tidak bermanfaat.
Kalau bicara itu perak, dan diam itu emas, maka pendengar
yang baik lebih mulia dari dua benda berharga itu. pendengar yang baik adalah
pribadi yang dibutuhkan dan disukai oleh semua orang.
(Tarbawi edisi 176, Maret 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar