Pertanyaan tersebut masih menjadi hipotesis saya. Enam setengah tahun
lalu, ketika ibu saya terserang stroke, bapak saya mengatakan sesuatu
yang membuat saya tercetus dengan pemikiran tersebut.
“Bapak bersyukur ada Iis yang mau tinggal di rumah sini. Kalau Iis
enggak ada, bapak enggak tahu bagaimana mengurus ibu yang sakit. Harus
wira-wiri ke sana-sini. Bapak sebetulnya enggak mau merepotkan Iis yang
baru melahirkan. Tapi bapak juga gak tahu kalau sendirian mengurus ibu,” kata bapak saya saat itu.
Ya, saya ingat betul. N2 saat itu masih berusia sekitar 6 bulan. Masih
ASI eksklusif. Saya menggendongnya ke mana-mana mengurus kepindahan ibu
dari RS di Lumajang ke Surabaya. Mengurus surat-surat administrasi,
mengurus ambulans, mengurus pembayaran, dan hampir semua urusan saat itu
saya yang menangani.
Saat itu, ibu saya juga sedang terkena masalah hukum dari keluarga istri
kedua kakek saya. Saya pula yang mengurus masalah tersebut ke
kepolisian, pengacara di Surabaya, dan sebagainya. Masa-masa tersebut
adalah masa-masa berat untuk keluarga saya.
Bapak saya tidak secara langsung mengatakan ‘terima kasih’ pada saya.
Tapi saya tahu, kata-kata itulah yang menjadi inti dari pembicaraannya
yang mensyukuri kehadiran saya yang pindah dari Surabaya ke Lumajang.
“Bapak enggak membayangkan kalau anaknya bapak keluar rumah semua, siapa yang menemani bapak ibu di Lumajang…” katanya di waktu yang lain.
Kemarin, hal yang sama tercetus lagi dari seorang sahabat saya di
Jakarta. Panggil saja namanya, Pak Eres. Pak Eres seusia dengan ibu
saya. Memiliki 3 anak. Yang sulung tinggal di Kuala Lumpur ketika S1 dan
pindah ke Australia sejak kuliah S2. Ia kemudian bekerja di sana,
menikah dengan orang Australia, dan kini memiliki 1 putra. Panggil saja
anak perempuan sulung Pak Eres ini dengan Ima.
Anak kedua Pak Eres juga perempuan, Panggil saja namanya Lasmi. Lasmi
dulu kuliah di Jakarta untuk program internasional sehingga 2 tahun
kuliah di Jakarta dan 2 tahun kuliah di Australia. Kini Lasmi tinggal di
Jakarta dan bekerja di perusahaan produsen susu bayi internasional.
Anak ketiga Pak Eres, panggil saja Bintang, adalah seorang autis yang duduk di kelas XII alias 3 SMU.
Pak Eres beberapa kali bercerita tentang ketidaksetujuannya dengan pacar
Lasmi. Ada beberapa hal yang Pak Eres sempat jelaskan mengapa ia dan
istri tidak setuju dengan pilihan Lasmi yang kebetulan orang Yogyakarta.
“Pak Eres, biarkan Lasmi memilih siapa yang ia sukai. Setidaknya jika
ia ternyata salah memutuskan, Lasmi tidak akan menyalahkan Pak Eres dan
Bu Eres,” kata saya.
“Saat ini kami hanya bisa menunjukkan ketidaksukaan kami atas pilihan
Lasmi. Saya belum tahu bagaimana ke depan. Lasmi juga tidak pernah
membicarakannya kepada kami….” sahut Pak Eres.
Semula saya mengira Pak Eres tidak setuju hanya karena pria yang
dicintai Lasmi itu memiliki perilaku yang membuat Pak Eres danistri
kurang berkenan. Tapi, kemarin, saya mulai melihat sisi lain yang
menjadi alasan Pak Eres tidak setuju dengan pilihan Lasmi.
“Kami sudah tua, Is. Saya juga tidak tahu sampai berapa lama bisa
menemani Bintang. Bintang tidak bisa dilepas. Lihat dia, dia tidak punya
teman. Dia tidak punya sahabat. Dia kesulitan berinteraksi dengan orang
lain. Jika ia marah, saya dan istri sudah tidak mampu mengatasinya. Ia
bisa menghancurkan apa saja yang ada di rumah. Ia bisa memukul ibunya
atau pembantu di rumah. Saya juga sudah tidak terlalu kuat secara fisik
untuk mengikuti kekuatan tubuhnya. Bintang semakin besar, Is…..” cerita Pak Eres dengan nada datar.
“Karena menyadari itu, makanya saya dan istri berharap Lasmi lah yang
nanti mendampingi Bintang di rumah ini. Tidak mungkin kami mengharapkan
Ima. Ima lebih mengenal Australia daripada Jakarta.
Kehidupannya memang ada di Australia. Ia tidak punya teman di Jakarta.
Seharusnya Lasmi menyadari itu. Dia tahu kondisi keluarganya dan harapan
ini sudah pernah kami sampaikan. Lasmi bercerita bahwa pacarnya sudah
memiliki rumah di Yogyakarta dan kalau mereka menikah, maka Lasmi akan
diboyong ke Yogyakarta. Yang diceritakannya itu sangat menyakitkan hati
kami. Tapi kami bisa apa. Rasanya dia lebih menganggap penting pacarnya
daripada orangtuanya….” tambah Pak Eres.
Ah….. Apa yang disampaikan Pak Eres ternyata senada dengan yang
disampaikan bapak saya beberapa tahun lalu. Ternyata orang tua selalu
menyimpan harapan agar anaknya mendampingi masa tua mereka. Dan orang
tua biasanya menyimpankan harapan tersebut pada salah satu anaknya.
Benarkah demikian?
Saya tidak tahu. Tapi sedikit banyak, saya mulai memahami mengapa orang
tua berpikir demikian. Saya yakin, yang menjadi pikiran Pak Eres bukan
sekedar persoalan Bintang yang autis semata. Tapi juga kekhawatiran atas
perasaan kesepian di masa tua yang membuat ia berpikir demikian.
Seperti ibu saya. Jika liburan panjang atau ada beberapa hari libur,
saya biasanya memboyong anak-anak untuk ke Jember menemani Abinya yang
tinggal bersama kedua orangtuanya. Dari bapak, saya mengetahui bahwa
setiap kali saya dan anak-anak bepergian lama, ibu saya sudah tidak
berselera makan dan melakukan aktifitas seperti biasa. Meski ibu saya
sering ‘berantem’ dengan anak-anak saya, tapi ibu saya selalu
menginginkan cucu-cucunya ada di Lumajang. Jika mengikuti keinginan
hati, kata bapak, ibu inginnya setiap hari telpon ke Jember untuk bisa
bicara dengan anak-anak saya. Tapi ibu sungkan dengan besannya karena
baru sebentar ditinggal kok sudah ingin minta saya dan anak-anak pulang
ke Lumajang.
Tinggal di Lumajang tidak pernah menjadi rencana saya. Tapi terkadang,
kita tidak bisa memilih pilihan yang kita ingin pilih. Dan selama ini
saya selalu meyakinkan diri bahwa menemani orangtua adalah bentuk lain
dari ibadah saya kepadaNya.
Untuk Pak Eres, saya pun bisa memahami kekecewaannya ketika Lasmi
menyampaikan rencananya untuk tinggal di Yogyakarta. Saya tahu, banyak
harapan yang tersemai di hati Pak Eres dan istri terhadap Lasmi. Tapi
Pak Eres tidak mungkin memaksa.
“Saya berharap Lasmi bisa seperti Iis yang mau menemani orangtuanya…” kata Pak Eres.
Ya, Pak Eres mungkin mengharapkan Lasmi dan calon suaminya dapat
memahami situasi Pak Eres dan Bintang. Pak Eres mungkin berharap calon
suami Lasmi dapat berbesar hati seperti suami saya yang rela ‘terpisah’
karena saya tinggal bersama orangtua saya. Pak Eres mungkin juga
berharap Lasmi dapat seperti saya yang berkenan mobilitas antar kota
untuk memenuhi semua tanggungjawab yang saya emban.
Ah, saya teringat pada Mbak Indri, salah satu pengurus FORMULA saya,
yang pernah berkunjung ke rumah dan mengetahu bahwa saya tinggal bersama
orangtua saya.
“Saya lihat Mbak Iis jadi ingin menangis. Saya ingin sekali bisa
berkesempatan untuk menemani orangtua saya. Kini ibu saya sendirian di
Malang. Saya sudah mengajak untuk tinggal bersama saya. Tapi ibu tidak
mau. Ibu ingin di rumahnya di Malang yang dulu ditinggalinya bersama
bapak. Saya sering menangis karena ibu sendirian di rumah. Saya tidak
membayangkan bagaimana rasanya sendirian di masa tua tanpa ada anak-anak
satupun yang bisa menemani. Tinggal dengan anak-anaknya sendiri tentu
berbeda dengan tinggal bersama keponakan atau saudara yang lain….”
Aduuuuh, jadi pengen nangis nih. Saya ingat murobbi saya pernah mengatakan, “Merawat
orangtua kita adalah ladang ibadah, Is. Kadang kita seolah melihat ada
surga di tempat lain. Padahal, seringkali kita tidak perlu mencari surga
jauh-jauh kerena berkesempatan merawat orangtua kita sesungguhnya juga
adalah surga yang dihadirkan Allah di depan kita.”
Hmffffhhhh…
Ya, bersyukurlah saya Lumajang dan Jember tidak terlalu jauh. Hanya 1,5
jam perjalanan sehingga bisa sering wira-wiri 2 kota ini. Saya tetap
bisa menemani orangtua saya dan suami saya bisa menemani orangtuanya.
Tidak semua dapat memiliki kesempatan itu. Dan lagi-lagi, terkadang kita
harus memilih pilihan yang tidak kita sukai.
Tapi…
Satu hal yang saya rasakan bahwa orangtua kita sedikit banyak memiliki
perasaan sakit jika sang anak lebih memilih mengikuti suami atau
istrinya, apalagi jika sampai lebih memilih menemani mertua daripada
orangtuanya sendiri. Mungkin tak semua orangtua akan berperasaan
demikian. Tapi bagi orangtua yang menyimpan harapan besar untuk ditemani
oleh salah satu anak yang diinginkannya, maka sakit itu adalah
keniscayaan. Tapi, orangtua tak mungkin mengatakannya. Hanya bahasa hati
yang dapat memahaminya. Bahasa hati yang berbuah tangis dalam senyap
dan hanya bisa belajar mengikhlaskan pilihan sang anak untuk melalukan
apa yang diinginkannya. Bahasa hati yang berbuah sakit yang belajar
dipupus dan hanya bisa belajar mengikhlaskan pilihan sang anak untuk
memilih tinggal bersama suaminya dan atau merawat orangtua suaminya
daripada orangtuanya sendiri.
Pak Eres, semoga Allah memberikan jalan keluar. Semoga Pak Eres dan Bu
Eres diberi usia panjang yang barokah untuk menemani Bintang. Semoga
Allah menjawab doa dan harapan Pak Eres… Aamiin.
( Dikutip dari http://forum.kompas.com/keluarga/217403-%5Bkisah%5D-harapan-orang-tua-di-masa-tua.html )
Jadi inget kata-kata mama " kalau ayuk dah nikah tinggal di Bangka aza, biar deket sama mama." . Saya pun tak tahu, jodoh ada di tangan Allah, tapi kuat dalam hati saya. ingin dekat dengan mereka walau rumah kami tak berdekatan tapi setidaknya akan berbeda intensitas pertemuan bila saya ada di pulau seberang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar